20.2.10

Ceritakan kembali Bu.....

Bu… ceritakan kembali saat ibu bertemu ayah Cerita yang sering kudengar kala kita santai dan bercengkrama Hingga ku hafal jalan cerita itu, tapi aku selalu ingin mendengar itu dari mulut ibu. Ceritakan saat kalian bukanlah sepasang kekasih tapi tikus dan kucing, dimana loteng rumah nenek jadi saksi betapa nakalnya ibu yang menaburkan segenggam pasir kala ayah bersama gadis pujaannya. Ceritakan saat ibu selalu melihat ayah berganti-ganti gadis dan membuat ibu geli dan mengecapnya playboy.

Ceritakan saat tubuh ibu gemetar mendengar ayah bercengkrama dengan kakak ibu dan meminta ibu untuk menjadi istrinya. Ceritakan saat ibu tak bisa tidur dan kecamuk dalam dada ibu tentang kebahagiaan itu. Ceritakan saat ibu pertama kali nonton bioskop dan mengantar ayah membeli celana dan baju kampret dipasar kosambi.

Dan aku tak pernah bosan mendengarnya, karna ibu terlihat sumringah dan berbinar juga bersemangat tentang ayah. Meski ayah tak romantis, meski ayah tak pernah membonceng ibu dan memeluk pinggangnya. Aku melihat ibu begitu menikmati menjadi istri, menjadi ibu, menjadi apapun yang ayah dan kami butuhkan. Aku merasakan betapa cinta ayah pada ibu hingga ditiadanya ayah selalu menjenguk ibu dimimpi.

Ayah selalu menjawab semua pertanyaanku, kadang membentak, kadang sambil tertawa. Kala aku menanyakan bagaimana cara mencuci piring yang baik itu seperti apa, cara yang baik mengecat pintu kamar itu bagaimana, sampai cara menyediakan the dalam cangkir. Ayah yang tertawa lepas saat aku bertanya apakah ayah selalu mencium ibu waktu mereka pacaran dan menyuruhku menanyakan langsung pada ibu. Ayah yang melarangku meninggalkan rumah lama-lama dan mengerahkan anggota keluarga saat jam 9 malam aku belum pulang. Ayah dan ibu selalu mengajariku cara mengurus segala yang kelak aku akan berada di posisi ibu.

Kalian itu orang tua yang tidak familiar, orang tua yang sendiri sendiri, orang tua yang tidak pernah menanyakan kehidupan pribadi anak anaknya. Tapi aku tau begitu perhatiannya ayah saat jam 12 malam aku masih didepan televise menemaniku hingga mengantuk. Tapi aku tau begitu perhatiannya ibu saat hatiku terluka karna seseorang.

Kalian the best meski bukan tipe orangtua yang aku dambakan,
kalian orangtua aneh yang aku banggakan.

Berdirilah dengan kedua kakimu

"aku belum menjadi bapak" ujar seorang pemuda pada laki-laki yang jongkok disampingnya, mengorek ngorek tanah basah sisa tangis langit semalam.

"aku belajar menjadi bapak untukmu" ucapnya lagi menyenderkan tubuhnya didinding tua dekat warnet tempat gaji yang dikantonginya. laki -laki yang jongkok itu tak menghiraukan apa yang dikata, dia masih mengorek tanah dan menguratkan tulisan dengan lidi bekas sate.

"kelak, jika aku menikah dan tak mungkin lagi bersamamu.. aku berfikir bagaimana dengan hidupmu yang tak bisa kau topang"

"aku sahabatmu, tentu aku peduli denganmu dan membantumu semampu aku memberikannya. tapi sahabat... aku hidup bukan hanya untukmu. dan aku yakin hidupmu tak mungkin melulu seperti ini. bisakah mulai dari sekarang, kau menuliskan skedul untuk dirimu dan bukan aku yang menuliskannya di skedulku yang sedikit terbengkalai??"

Surat Tanpa Alamat

akan kemanakah surat ini kukirimkan
tentang hati yang berperang, kecamuk menggebu. ingin kucabut dia dan kulihat apa yang ada disana, apa yang membuat dia begitu gempita dalam keraguan. lemas raga ini menahan amukan saling menudingkan bambu runcing, luka..luka..luka..

kau disana, jangan menuduhku. aku sendiripun bukan malaikat, bukan juga pemilik hati yang lapang. tidakkah kau tau betapa aku....(entah apa yang harus kukatakan)

kau berubah dingin,
lagi... matamu berkata nanar... aku hanya diam berkacakaca. bambu runcing kutusuk lagi, jangan marah...jangan marah... karna segalanya demi bintang, demi bulan, demi malam, demi siang yang akan kita bungkus bersama hingga masa tak bersisa....


lanysulystiawati, 20 Feb 2010